"March for Our Beloved" - Lagu Gerakan Anti-Kediktatoran Korea - Pendobrak - Berani Berbeda

"March for Our Beloved" - Lagu Gerakan Anti-Kediktatoran Korea

Pendobrak
01 Desember 2025

Perlakuan yang biasa terjadi di era kediktatoran militer Korea Selatan

PENDOBRAK - March for Our Beloved, judul asli "임을 위한 행진곡", adalah lagu protes Korea Selatan tentang Pemberontakan Gwangju yang terjadi pada tahun 1980. 


Di musim semi tahun 1980, kota Gwangju di Korea Selatan berubah menjadi neraka di bumi. Pada tanggal 18 Mei, rezim militer baru Chun Doo-hwan yang merebut kekuasaan lewat kudeta mengirim pasukan terjun payung ke kota itu. Mereka datang untuk “menghentikan kerusuhan”. Namun, yang terjadi justru pembantaian massal terhadap warga sipil yang menuntut demokrasi dan menolak kediktatoran.



Selama sepuluh hari, dari 18 hingga 27 Mei, ribuan orang tewas ditembak, dipukuli, ditusuk bayonet, atau dibakar hidup-hidup. Mayat-mayat ditumpuk di jalanan, darah mengalir di selokan. Namun warga Gwangju tidak menyerah. Mereka membentuk “Pasukan Warga”, mengambil senjata dari gudang polisi, dan bertahan dengan nyanyi.


Lagu itu diciptakan secara spontan oleh para pemuda di Gwangju. Beberapa sumber menyebutkan seorang mahasiswa bernama Kim Jong-ryul dan novelis Hwang Seok-yeong yang menulis lirik dasar dari puisi aktivis Baek Ki-wan, sementara melodinya diambil dan diubah dari lagu rakyat lama Korea. 


Lagu itu awalnya dinyanyikan untuk mengenang Yoon Sang-won, juru bicara Pasukan Warga Gwangju yang tewas pada 27 Mei pagi, beberapa jam sebelum militer berhasil memasuki balai provinsi dan membantai semua yang tersisa di dalam. Yoon Sang-won adalah “kawan tercinta” (im) dalam lirik lagu itu. Ia bukan tentara, bukan pemberontak bersenjata—ia hanya seorang pemuda yang ingin Korea Selatan bebas dari diktator.


Setelah pembantaian Gwangju dirahasiakan dan ditutupi selama bertahun-tahun, lagu ini dilarang total oleh rezim Chun Doo-hwan. Siapa pun yang menyanyikannya bisa ditangkap, disiksa, atau “hilang”. Tapi justru larangan itu membuat lagu ini semakin abadi.


Pada Juni 1987, saat “Pemberontakan Juni” yang akhirnya menggulingkan kediktatoran militer, lagu ini menjadi lagu kebangsaan gerakan pro-demokrasi. Ketika mahasiswa Park Jong-chul disiksa sampai mati oleh polisi, ketika Lee Han-yeol terkena tabung gas air mata tepat di kepala dan meninggal di depan kamera, ribuan orang mengantar jenazah mereka sambil menyanyikan Im ŭl wihan haengjin'gok.


Setelah demokrasi tercapai tahun 1988, lagu ini tetap menjadi luka yang hidup. Setiap tanggal 18 Mei, di Gwangju, puluhan ribu orang berkumpul di Pemakaman Nasional 5.18. Mereka bernyanyi lagu itu dengan tangis. Bahkan sampai hari ini—2025—lagu ini masih dilarang dinyanyikan secara resmi di acara kenegaraan oleh partai konservatif tertentu, karena dianggap “terlalu kiri” atau “menghina militer”. Tapi rakyat biasa tetap menyanyikannya. Di upacara peringatan, di demonstrasi menentang presiden yang korup, di pemakaman aktivis yang bunuh diri karena putus asa melihat demokrasi mundur lagi.


임을 위한 행진곡 bukan sekadar lagu. Ia adalah janji yang belum selesai. Janji bahwa darah yang tumpah di Gwangju tidak sia-sia. Janji bahwa setiap kali ada yang jatuh dalam perjuangan demi keadilan, yang lain akan tetap berbaris mengiringi langkahnya.


Dan selama masih ada orang yang ingat Peristiwa Gwangju, selama masih ada orang yang menolak lupa, lagu ini akan terus dinyanyikan—dengan suara parau, dengan air mata, tapi dengan kepala tegak.


> “Kawan-kawan tercinta telah gugur 

> Tapi panji kami kan terus berkibar…”


Untuk Yoon Sang-won.  

Untuk semua “im” yang jatuh.  

Kami masih berbaris.